Hari-hari ini kita miris melihat siaran televisi tentang kekacauan di negeri saudara kita Mesir. Kita mudah ber-emphaty terhadap apa yang terjadi di Mesir sekarang oleh sebab dua hal, pertama kita memiliki pengalaman traumatis yang sama yaitu ketika terjadi pergantian rezim di negeri ini tahun 1998. Kedua karena Mesir memiliki kemiripan dengan kita dalam arti mayoritas penduduknya Muslim. Namun yang membuat kita lebih miris lagi adalah bukan karena kekacuan fisik tersebut, tetapi kemerdekaan berpikir yang nampaknya sudah lama terampas dari rakyat negeri itu.
Bayangkan di puncak krisis kepemimpinan yang terjadi hari-hari ini, muncul statement dari para tokoh negeri itu sendiri bahwa siapapun pengganti Hosni Mubarak sekarang – dia haruslah direstui oleh Amerika dan tidak membuat marah Israel !. Inilah musibah terbesar itu, rupanya selama ini negeri saudara kita itu tidak sepenuhnya merdeka – mereka begitu dekatnya bergaul dan sangat bisa jadi juga didikte oleh negara-negara yang memusuhi negeri-negeri Muslim.
Maka saya tidak heran, mengapa Mesir tidak bersahabat ketika saudara-saudara seiman kita di Gaza sangat membutuhkan bantuan. Bahkan untuk sekedar memberi akses jalan ke mereka saja, Mesir enggan memberikannya. Ada apa sih dibelakang ini semua ?. Ternyata ujung-ujungnya Fulus (uang Fiat) juga !.
Sampai tahun lalu, Israel dan Mesir adalah dua negara yang paling banyak mendapatkan bantuan keuangan dari pamannya mereka Uncle Sam. Dua negara itu secara bersama-sama menerima sekitar 1/3 dari bantuan Amerika ke negara lain. Sepuluh tahun terakhir, setiap tahun Mesir menerima bantuan antara US$ 1.5 Milyar (2009) sampai US$ 2.1 Milyar (2002) , sementara Israel setiap tahun mendapatkan bantuan antara US$ 2.3 Milyar (2009) sampai US$ 3.2 Milyar (2010). Yang lebih memprihatinkan lagi ternyata bagian terbesarnya bantuan tersebut adalah untuk militer – bukan untuk kemanusiaan.
US$ 1.3 Milyar dari US$ 1.55 Milyar bantuan AS ke Mesir tahun 2010 atau 84%-nya adalah untuk Militer dan hanya 16 %-nya yang untuk bantuan ekonomi. Untuk Israel di tahun yang sama, US$ 2.8 Milyar dari US$ 3.2 Milyar atau 88 %-nya untuk militer dan hanya menyisakan 12% untuk bantuan ekonomi. Dengan kata lain adalah bantuan Amerika ke Mesir maupun Israel, sangat condong pada membangun kemampuan dua negara tersebut untuk berperang ketimbang untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Lantas dengan besarnya bantuan AS untuk membangun kekuatan militer Mesir dan Israel tersebut secara bebarengan ini, sesungguhnya dua negara ini dipersiapkan untuk berperang melawan siapa ?. Tentu bukan untuk persiapan perang antar keduanya, tetapi persiapan berperang melawan negeri-negeri di sekitarnya. Padahal negeri-negeri di sekitarnya adalah negeri-negeri Arab - yang notabene mayoritas penduduknya adalah Muslim !.
Pertanyaannya berikutnya adalah bagaimana negeri dengan hutang setinggi langit seperti AS, bisa membiayai kekuatan militer negara lain , dan dari waktu-kewaktu bahkan memerangi negara-negara lain tanpa hentinya seperti yang terjadi di Afganistan, Iraq dan entah negara mana lagi yang akan dijadikannya medan perang berikutnya ?.
Kembali jawabannya ada di uang kertas US$ mereka. Dahulu presiden-presiden awal yang taat konstitusi negeri itu bila hendak terlibat perang harus mengajukan anggarannya dahulu ke Congress. Bila tidak ada uang, maka perang tidak jadi dilaksanakan. Atau mereka akan membebankan ke rakyat biaya perang ini dengan menaikkan pajak misalnya– maka inipun perlu persetujuan Congress – lagi-lagi bila tidak disetujui, perang-pun tidak jadi dilaksanakan. Namun masalah anggaran perang ini menjadi tidak terlalu penting lagi pasca dihilangkannya kaitan antara uang US$ dengan emas Agustus 1971.
Itu dahulu, kini anggaran perang – atau membiayai peralatan perang – hanyalah sekedar angka-angka saja, mau US$ 5 milyar, US$ 50 milyar atau US$ 500 milyar – cukuplah angkanya sebagai informasi saja – tetapi tidak menjadi faktor penentu apakah perang dilaksanakan atau tidak, apakah peralatan perang dibeli/dibuat atau tidak.
Tidak lagi ada yang terlalu peduli, berapa uang yang mereka keluarkan untuk perang atau membangun kekuatan untuk berperang ini baik untuk negeri sendiri ataupun untuk negeri lain seperti Israel dan Mesir tersebut diatas. Maka tidak heran, bila Amerika bisa membiayai perang Iraq yang sampai saat ini telah menelan biaya US$ 775 Milyar, dan perang Afganistan yang telah menelan biaya US$ 375 Milyar – sehingga untuk kedua perang ini saja mereka telah mengeluarkan US$ 1.15 trilyun.
Lagi-lagi dari mana mereka dapat uang untuk membiayai perang ini ?, dari mana mereka mengeluarkan biaya perang US$ 1.15 trilyun - padahal sampai detik ini mereka berhutang lebih dari US$ 14 trilyun ?. Ya dari hutang tadi-lah mereka membiaya perang ini. Namun kalau mereka secara terang-terangan mengeluarkan surat hutang untuk membiaya perang Iraq dan Afganistan misalnya, siapa yang mau memberinya pinjaman ? ya nggak ada.
Maka yang mereka lakukan adalah dengan mencetak uang US$, yang kemudian melalui system financial mengalir ke seluruh dunia dalam berbagai bentuknya, termasuk untuk membiaya perang atau peralatan perang tadi.
Jadi dengan Dollar mereka yang dicetak dari awang-awang, mereka membiayai perang Iraq dan Afganistan. Dengan Dollar mereka, mereka membuat negeri seperti Mesir ‘terjajah’ - bahkan untuk memilih pemimpin-pun harus yang direstui Amerika – dan yang tidak membuat marah sekutu mereka Israel !.
Lantas bila kita tahu bahwa dengan Dollar-nya Amerika bisa membiaya perang di negeri-negeri Muslim seperti Iraq dan Afganistan, dengan Dollarnya pula mereka ‘menjajah’ negeri dengan penduduk mayoritas Muslim seperti Mesir – maka sesungguhnya umat ini bisa bersama-sama menghindarkan diri dari perang yang tidak perlu , dan membebaskan diri dari bentuk-bentuk penjajahan modern – bila kita mau meninggalkan US$ secepatnya. InsyaAllah kita bisa !. (Muhaimin Iqbal, Gerai Dinar, 6 Februari 2011)