Di pojok sawah kami di Jonggol ada mata air kecil yang terus mengalirkan air jernih untuk mengairi beberapa petak sawah yang kami tanami padi. Karena sumber air ini kecil, maka tidak perlu saluran khusus untuk mengalirkannya. Air langsung mengalir ke petak pertama dari sawah kami yang langsung berhubungan dengan mata air tersebut, kemudian di ujung yang lain dari petak pertama ini kami buat lubang di pematangnya untuk menyalurkan air ke petak kedua. Begitu seterusnya sampai seluruh petak sawah kami terairi dari sumber air yang kecil ini.
Tidak berhenti disini, di pematang petak paling ujung kami yang berbatasan dengan petak orang lain-pun kami buat lubang sehingga air bisa mengairi petak-petak sawah orang berikutnya. Ketika saya pernah coba telusuri sampai dimana air ini mengalir. Subhanallah ternyata air tersebut terus mengalir sampai jauh – sampai saya tidak tahu lagi dimana berhentinya.
Apa yang akan terjadi seandainya air dari mata air tersebut kami bendung untuk membuat kolam ikan sendiri misalnya ?, dari hitungan ekonomis yang kami lakukan, dengan adanya mata air tersebut kolam ikan sebenarnya diatas kertas lebih menguntungkan bagi kami dari pada sawah. Tetapi bila membendung air untuk kolam ini yang kami lakukan, maka betapa banyak sawah orang lain yang mati karena tidak lagi mendapatkan air yang diperlukannya.
Lebih jauh lagi kami juga berpikir, bagaimana bila air dari mata air tersebut sebenarnya bukan (hanya) untuk kami –tetapi memang untuk seluruh pemilik sawah di daerah tersebut, berhakkah kami membendungnya untuk kolam ikan ?. Maka dari mengikuti perjalanan air dari mata air di pojok sawah kami ini, ada pelajaran yang luar biasa bagi kami untuk memperbaiki sikap terhadap harta. Saya share disini agar lebih banyak yang bisa ikut mendapatkan pelajarannya.
Sama seperti mata air di pojok sawah tersebut, setiap kita diberi ‘mata air’ rizki di ‘pojok sawah’ kita masing-masing. Bisa bersifat materi, bisa juga yang non materi (ilmu misalnya). Ada yang besar dan ada pula yang kecil – itu fitrah, tetapi kita semua diberi tahu oleh Yang Memberi ‘mata air’ tersebut bahwa “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian” (QS 51:19).
Bagaimana kalau ‘mata air’ rizki yang ada di kita tersebut kita bendung, tidak kita alirkan ke sawah sebagaimana mestinya, tidak kita ijinkan orang lain membuat lubang di ujung pematang agar ikut mendapatkan ‘air’ dari mata air di ujung sawah kita ? betapa banyak ‘sawah’ orang lain yang akan mati karenanya. Bisa jadi karena banyaknya orang yang membendung ‘mata air’-nya sehingga sebagian terbesar penduduk negeri ini jatuh pada kemiskinan menurut standar Islam.
Mengalirkan ‘air’ rizki tidak harus melalui sedeqah, bisa dengan cara yang produktif seperti menanam padi di sawah tersebut diatas – yaitu menciptakan kegiatan ekonomi yang mendatangkan lapangan kerja bagi orang lain. Bahkan melalui lapangan kerja inilah distribusi ‘air’ rizki bisa lebih elegan, selain bisa berkesinambungan juga lebih bisa menjaga kehormatan penerimanya.
Tentu saja kemampuan untuk ‘mengalirkan air’ ini berbeda-beda dari satu orang ke orang lain, tetapi ini juga bukan alasan untuk kita tidak mengalirkan air tersebut. Saya terus terang tidak bisa bertani dan bertanam padi misalnya – tetapi orang di Jonggol banyak sekali yang bisa melakukannya menggantikan tugas saya.
Begitulah Islam sebagai agama yang sempurna di akhir jaman, pasti bisa menjawab seluruh tantangan jaman ini. Bila saya punya uang tetapi tidak memiliki keahlian, maka saya bertindak sebagai shahibul mal dan mencari mudharib yang capable dan amanah untuk ‘mengalirkan air’ tersebut. Sebaliknya dalam bidang yang lain saya punya keahlian – tetapi tidak punya uang, maka saya bertukar tempat menjadi mudharib dan mencari para shahibul mal yang ingin ‘mengalirkan air’-nya lewat kemampuan saya. Banyak sekali bentuk kerjasama dengan aqad-aqad yang syar’i yang telah dicontohkan, yang semuanya insyaallah bisa menjamin agar air tetap dan terus mengalir.
Salah satu project percontohan untuk pembelajaran ‘mengalirkan air’ ini insyaAllah dalam sebulan dua bulan kedepan Bazaar Madinah yang pertama bisa beroperasi di Depok. Masyarakat di sekitar lokasi sudah kita beri formulir untuk mendaftarkan diri sebagai pedagang di Bazaar Madinah tersebut, sebagian sudah ada yang mempunyai ide konkrit jualan apa – sebagian yang lain juga belum.
Di sisi lain ada sejumlah pembaca situs ini dari tempat yang jauh ingin ikut berdagang, mereka punya dagangan-dagangan yang sebenarnya menarik – namun menjadi tidak ekonomis bila harus berdagang sendiri di Bazaar Madinah. Maka problem pertama – penduduk setempat yang berminat berdagang tetapi tidak memiliki barang dagangan – bisa kami ‘jodohkan’ dengan problem kedua – pemilik dagangan dari tempat yang jauh, untuk saling bekerjasama ‘ mengalirkan air’. Yang satu bertindak sebagai mudharib, yang lain bertindak sebagai shahibul mal.
Lantas bagaimana kami bisa membuat dua pihak yang tidak saling mengenal ini dapat saling memberi kenyamanan untuk bekerja sama secara adil ?. Di Bazaar Madinah kami sediakan system kasir bersama, seluruh penjualan melalui kasir bersama ini. Maka dua orang yang kami ‘jodohkan’ untuk saling ber syirkah tersebut misalnya, bisa menunjuk kasir bersama kami sebagai pihak ketiga yang akan meng-adimistrasi-kan bagi hasil yang adil untuk keduanya. Setiap transaksi penjualan bisa langsung terbagi ke tiga pihak, mudharib yang jualan, shahibul mal yang memiliki barang/modal dan kami sebagai ganti ongkos tempat, keamanan, kebersihan dan pekerjaan administrative pengelolaan bagi hasil ini.
Banyak sekali cara lain yang bisa kita gosok menjadi intan berlian dari ‘mata air’ yang ada di ‘sudut sawah’ kita, maka jangan biarkan air dari ‘mata air’ tersebut dibendung atau dibiarkan menggenang. Fitrahnya air adalah mengalir, fitrahnya harta dia harus berputar. InsyaAllah. (Muhaimin Iqbal, Gerai Dinar, 9 Maret 2011)