Pada Acara piala sepak bola dunia 2006 di Jerman, saya termasuk yang memperoleh pengalaman luar biasa bisa menyaksikan acara bergengsi yang menjadi perhatian seluruh dunia tersebut secara langsung di balkon VIP FIFA Arena - Munich. Bukan hanya itu, layanan VIP juga diberikan oleh tuan rumah yang saya kunjungi sejak saya turun dari pesawat. Tidak seperti biasanya ketika kita masuk negeri orang harus antri melalui jalur custom dlsb., hari itu mereka mengirim limousine langsung ketangga pesawat – agar saya bisa dibawa melalui jalur khusus – yang tidak perlu berurusan dengan custom, bagasi dan tetek bengeknya. Mengapa mereka memberikan penghargaan secara luar biasa – bak para bintang World Cup – ke saya hari itu ?. Itu karena ada perusahaan raksasa negeri itu yang eager sekali - ingin belajar tentang konsep ekonomi Islam dari saya !.
Di Jerman saat itu sedang digodog peraturan baru tentang asuransi kesehatan swasta yang mereka pandang selama ini berjalan kurang adil kepada para pemegang polisnya. Kita tahu di Jerman dan seluruh dunia (termasuk di Indonesia hingga saat ini), semakin tua seseorang akan membayar premi asuransi kesehatan yang semakin mahal – katanya karena faktor risiko yang semakin tinggi.
Tetapi perusahaan asuransi (sengaja) lupa dalam satu hal, bahwa rata-rata orang yang bekerja membayar premi asuransi kesehatan sampai 20 tahun lebih – tanpa klaim , ini adalah rentang waktu rata-rata sejak orang memasuki dunia kerja awal usia 20-an sampai usia awal 40-an, mayoritas orang tidak pernah masuk rumah sakit di rentang usia ini.
Peluang orang masuk rumah sakit menjadi lebih tinggi setelah usianya di pertengahan 40-an keatas, maka disinilah perusahaan asuransi mengenakan premi yang mahal itu. Sepintas nampak seolah logikanya benar, tetapi logika ini di challenge oleh para pembuat peraturan di Jerman – yang mempertanyakan : "lantas dimana premi yang dibayar rata-rata orang sejak usia 20-an sampai awal 40-an tersebut ?". Dari sinilah awal muawal-nya mereka menggodog peraturan yang tidak akan lagi mengijinkan perusahaan asuransi kesehatan swasta negeri itu menaikkan premi kepada nasabahnya – hanya karena nasabah tersebut bertambah tua !.
Di tengah kepusingan mengantisipasi peraturan yang baru tersebut, salah seorang eksekutif perusahaan raksasa negeri itu mendengarkan ceramah saya di Singapore tentang konsepta’awun dalam memikul biaya kesehatan yang bisa diterapkan di jaman modern sekalipun. Bahwa perusahaan asuransi tidak seharusnya mengakui premi yang dibayarkan nasabahnya sebagai pendapatan mereka. Premi tetap milik nasabah mereka (secara bersama-sama) sampai kapanpun, hak perusahaan hanyalah fee atau ujroh atas pengelolaannya yang besarnya disepakati dengan nasabah di awal masa pertanggungan.
Maka selesai seminar, eksekutif tersebut mendekati saya dan mengundang saya untuk menjelaskan konsep tersebut lebih detil di negerinya - Jerman. Agar saya tidak menolaknya, maka mereka memberikan penawaran yang luar biasa – yaitu atas kesediaan saya ceramah satu jam di negerinya – mereka akan membayari tiket VIP World Cup lengkap dengan layanan VIP sejak turun pesawat seperti yang saya ceritakan di awal tulisan ini.
Terus terang sebenarnya saya bukan penggila bola, saya penuhi undangan tersebut juga bukan karena layanan VIP-nya. Tetapi yang menarik saya waktu itu adalah mengapa orang-orang diluar Islam begitu antusiasnya mempelajari detil tentang syariat ini dan bagaimana aplikasinya di bisnis mereka. Sebelum di Jerman tersebut, beberapa kali saya juga berkesempatan menceramahkan konsep ta’awun di Lloyd of London – pusat keuangannya Inggris. Dari diskusi dengan para eksekutif tersebut-lah saya tahu bahwa mereka sedang mencari solusi atas masalah-masalah yang mereka hadapi, dan solusi ini bisa jadi datang dari Islam.
Ironi memang, disatu sisi sebagian mereka membenci Islam tetapi sebagian yang lain mengakui keunggulan solusi-solusinya. Sehingga jangan heran misalnya di beberapa negara yang Islam dibenci oleh sebagian rakyatnya, (sebagian) pelaku ekonominya pada meng-klaim bahwa negeri atau kota mereka-lah yang akan menjadi Islamic Financial Hub-nya !. Bagaimana ini bisa dijelaskan ?. Bukan hanya para eksekutif yang mendengarkan saya yang belajar syariat akhirnya - saya sendiri juga belajar melihat syariat ini dari sudut pandang yang lain.
Sesuai janji Allah : “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS 3 : 139), maka sesungguhnya apa-apa yang dihasilkan oleh ajaran Islam ini pastilah sangat tinggi nilainya.
Ekonomi yang berdasarkan prinsip-prinsip nilai Islam misalnya, ia ibarat intan berlian yang selama ini terkubur dalam-dalam oleh system ribawi, kapitalisme, neoliberalisme dlsb. Bagi orang yang tahu bahwa ini sesungguhnya intan berlian, maka dia berusaha menggosoknya tanpa lelah sehingga bebas dari segala macam debu yang menutupinya, menggosoknya terus sampai mengkilap menampakkan keindahan aslinya. Setelah intan berlian tersebut benar-benar bebas dari debu-debu yang menutupinya, maka siapapun yang melihatnya – baik dia muslim maupun non muslim – semua bisa menikmati keindahannya, barangkali inilah salah satu tafsir ...Rahmatan Lil – ‘Alamin itu....!.
Sejak saat itulalah saya berpikir untuk terus menggosok intan berlian – intan berlian berikutnya yang ada di sekitar kita yang masih begitu banyak terkubur oleh debu riba, materialisme, kapitalisme dan konco-konconya. Maka selain Dinar ada Project Gedebog Pisang, Kambing Putih, Bazaar Madinah dlsb. Tetapi kemampuan saya terbatas, banyak sekali intan berlian- intan berlian lainnya yang perlu digosok, dan inilah kesempatan Anda untuk melakukannya juga.
Sulitkah ini ?. ya nggak usah ambil yang sulit seperti program asuransi kesehatan yang memerlukan teknik aktuaria yang sangat njlimet dalam contoh tersebut di atas, ambil yang Anda bisa di lingkungan Anda dan yang sesuai dengan bidang yang Anda kuasai. Untuk konkritnya, saya beri contoh elaborasinya dari kasus pedagang imaginer penjual beras pak Abdullah yang saya perkenalkan ke Anda melalui tulisan saya tanggal 2 maret lalu dengan judul “Model Kemakmuran Para Pedagang...”.
Setelah Pak Abdullah membaca tulisan saya berikutnya tanggal 04 Maret 2011 dengan judul “10 Hal Yang InsyaAllah Mendatangkan Keberkahan Dalam Perdagangan...”, pak Abdullah menjadi tahu bahwa salah satu penyebab yang bisa menghilangkan keberkahan jual belinya adalah bila dia tidak ungkapkan cacat barang dagangannya kepada para pembeli.
Sedangkan dalam dunia perdagangan beras yang dijalaninya sehari-hari, amat sangat sulit bisa mengetahui secara akurat beras apa yang sesungguhnya dia jual. Beras dengan merek yang sama –pun ketika dimasak hasilnya bisa lain. Beras begitu mudah di-oplos oleh pedagang perantara, sehingga merek yang tercetak di karung begitu mudah dipalsukan dan tidak bisa menjadi jaminan atas kwalitas beras yang ada di dalam karung tersebut.
Menjadi lebih sulit lagi karena para pembeli membeli beras tersebut masih dalam kondisi mentah – dengan utmost good faith (prasangka yang sangat baik) - bahwa setelah dimasak nanti akan seperti yang diharapkan rasanya, bagaimana kalau ternyata setelah matang rasanya tidak seperti yang diharapkannya ?. Siapa yang salah ?.
Pertanyaan-pertanyaan ini menghantui pak Abdullah karena kekhawatirannya akan kehilangan keberkahan dalam jual belinya. Maka pak Abdulullah menelusuri asal-usul beras yang dijualnya, mendokumentasikannya dengan rapi, kemudian secara maksimal menginformasikan seluk beluk beras yang dijualnya tersebut kepada seluruh pembelinya.
Lebih dari itu agar calon pembeli memperoleh informasi yang sangat akurat tentang beras yang akan dibelinya, pak Abdullah memasak satu piring dari setiap jenis beras yang dijualnya setiap hari – kemudian menaruh sepiring beras yang telah menjadi nasi tersebut diatas beras yang dijajakannya – sebagai contoh. Dengan demikian calon pembeli bisa mengetahui, ini mentahnya , kalau dimasak dengan benar , ini pula matengnya ketika beras menjadi nasi.
Karena akurasi informasi yang pak Abdullah sajikan tersebut-lah maka dia menjadi pedagang beras yang insyaAllah tidak akan kekurangan pembeli baik muslim maupun non muslim. Para pembelinya kini dapat melihat beras ‘intan berlian’ yang telah digosok secara maksimal oleh pak Abdullah, bukan karena sekedar ingin laris dagangannya – tetapi lebih dari itu Pak Abdullah ingin agar jual beli yang dilakukannya mendatangkan berkah !.
Dengan contoh elaborasi bagaimana seorang pak Abdullah pedagang beras bisa menggosok ‘intan berlian’-nya ini, maka Anda-pun insyaAllah punya gambaran yang akurat tentang bagaimana menggosok ‘intan berlian’ yang ada di sekitar Anda. Setelah Anda melakukannya dengan sungguh-sungguh dan dengan ikhtiar yang maksimal, maka kilauan ‘intan berlian’ tersebut bukan hanya Anda yang bisa menikmatinya – tetapi masyarakat lain di sekitar Anda-pun bisa ikut menikmatinya. Bisa bukan ?. InsyaAllah. (Muhaimin Iqbal, Gerai Dinar, 7 Maret 2011)