Dalam beberapa tulisan saya, antara lain tulisan tanggal 4 Januari 2011 tentang “Food For All...” , telah saya ungkapkan betapa dasyatnya inflasi memiskinkan kita – khususnya inflasi bahan pangan - yang persisten diatas kenaikan rata-rata pendapatan kita setiap tahunnya. Karena trend naiknya harga pangan ini belum nampak berbalik atau berubah arah, hanya ada satu cara untuk melawanya – yaitu kita sendiri yang harus berusaha maksimal mengalahkan trend tersebut. Tetapi bagaimana kita bisa mengalahkan inflasi ini ?.
Melawan inflasi adalah seperti perang menghadapi musuh yang akan merenggut kekayaan dari hasil jerih payah kita, musuh yang akan menjajah dan mengeruk kekayaan kita. Seperti juga perang, maka ada dua strategi yang bisa digunakan yaitu strategi bertahan (defensif) dan strategi menyerang (ofensif). Pencapaian maksimal dari strategi defensif adalah berhasilnya kita mempertahankan harta dari serangan inflasi. Strategi defensif sendiri tidak akan membuat kita unggul – ya hanya sebatas membuat kita mampu bertahan tadi.
Sebaliknya strategi menyerang atau ofensif berpeluang kita unggul dan mampu mengalahkan inflasi, hanya saja untuk ini memang diperlukan keunggulan kekuatan sehingga peluang kita untuk mampu mengalahkan musuh yang bernama inflasi tersebut memang harus lebih besar dari peluang kalahnya. Lantas strategi mana yang kita pilih ?, saya lebih suka menggunakan kata ‘dan’ yang berarti keduanya , ketimbang menggunakan kata ‘atau’ yang membuat kita bimbang untuk memilih diantara keduanya.
Dinar emas yang sudah sejak sekitar 3 tahun lalu kita perkenalkan ke masyarakat misalnya, terbukti efektif untuk mengisi strategi defensif tersebut diatas. Rata-rata apresiasi emas terbukti mampu mengalahkan rata-rata inflasi bahan pangan sekalipun – yang merupakan komponen inflasi tertinggi di negeri ini.
Namun dengan strategi defensif melalui simpanan Dinar saja tidak membuat orang bertambah makmur – ya hanya membuat kita mampu bertahan tadi. Dengan strategi defensif ini yang kaya tetap kaya , sedangkan yang kekurangan tetap akan kekurangan. Maka meskipun strategi ini juga kita gunakan secukupnya, saya tidak menganjurkan kita terlalu banyak menaruh resources kita di strategi ini.
Bila ada kecukupan resources (modal, tenaga dlsb), saya sangat condong untuk menajak kita semua terjun rame-rame di sektor riil seperti perdagangan, pertanian, industri dlsb. atau bidang-bidang yang kita kuasai betul – yang kita bisa jagokan untuk senjata perang melawan inflasi. Berat memang dan penuh risiko, tetapi insyaAllah jerih payah ini akan rewarding.
Bila kita memiliki resources yang cukup untuk membangun dua strategi tersebut yaitu defensif maupun ofensif melawan inflasi, maka itu yang ideal. Masalahnya adalah situasi ideal ini justru yang paling jarang kita miliki. Situasi ideal hanya enak diomongkan atau ditulis tetapi jarang kita jumpai di lapangan yang nyata.
Lantas apa yang bisa kita lakukan bila kita tidak cukup resources untuk membiayai perang kita ini ? tidak ada modal emas atau Dinar untuk bertahan melawan inflasi, apalagi untuk modal berusaha ?. Jangan terlalu kawatir, diri kita sesungguhnya adalah modal yang paling berharga yang bisa kita gunakan sebagai senjata pamungkas untuk berperang dibidang apapun – termasuk berperang melawan inflasi ini.
Bagaimana cara menggunakannya ?, berikut adalah langkah step by step yang antara lain bisa kita lakukan.
Pertama mengasah skills bawaan kita dari lahir yaitu ‘jualan’. Ketika kita haus di gendongan ibu kita, kita melakukan sales speak dengan menangis – maka dapatlah kita air susu ibu. Keahlian ini terus terasah ketika kita meminta sepatu baru, tas sekolah baru, mengambil hati calon mertua kita dst. Kini skills yang sudah kita asah sejak lahir tersebut tinggal di fine-tuneuntuk ‘menjual’ gagasan-gagasan besar kita, produk-produk yang kita hasilkan, misi yang kita ingin tuju dlsb.dlsb.
Kedua membangun identitas diri yang orisinil milik kita. Seperti wajah dan sidik jari kita, Maha Kuasa Allah yang telah menciptakan diri kita unique – dari milyaran orang yang ada di bumi – tidak ada satupun yang sama persis dengan diri kita – maka seluruh potensi yang ada di diri kita juga unique – tidak ada seorang pun yang menyamainya. Hanya kita sendiri-lah yang bisa menemukan dan membangun seluruh potensinya yang ada pada diri kita tersebut.
Ketiga ber-investasi pada diri kita sendiri. Ilmu kita tidak akan pernah cukup, Skills kita juga tidak akan pernah sempurna – maka dari waktu kewaktu yang perlu terus kita lakukan adalah berinvestasi kembali pada diri kita untuk terus belajar dan menambah ilmu, untuk terus berlatih mengasah skills.
Keempat bukan berganti kotak tetapi memperbesar kotak. Setelah identitas diri atau brand identity kita terbangun dengan baik, maka jangan kita tergoda untuk think outside the box - selain amat sulit karena kita akan memulainya dari nol – juga akan merusak brand identityyang sudah dengan susah payah kita bangun. Sebaliknya yang kita perlu terus lakukan adalah grow the box , sehingga dari waktu ke waktu ruang lingkup cakupan pekerjaan kita semakin luas – bukan berganti satu pekerjaan ke pekerjaan lain tetapi sama-sama sempitnya.
Kelima fokus pada kerja karena inilah yang bisa kita lakukan, sedangkan hasil itu diluar kemampuan kita untuk menentukannya. Kesadaran untuk memilah mana yang tugas kita (bekerja) dan mana yang hak Allah untuk menentukan (hasil)-nya ini akan membuat kita lebih ikhlas menerima hasil apapun dari kerja maksimal kita, juga kita tidak akan menghalalkan segala cara untuk mengalahkan musuh kita – yaitu inflasi yang memiskinkan kita tersebut diatas.
Maka, prajurit tangguh yang siap berperang ini sekarang ada di diri kita, inflasi-pun insyaAllah akan bisa kita kalahkan !. Amin (Muhaimin Iqbal, Gerai Dinar, 10 Maret 2011)