Berapa banyak uang beredar di muka bumi? Laporan McKinsey Global Institute pada 2008 menyebut angka USD 61.000 Trilyun. Karena dirilis tahun 2008, maka itu berarti tak termasuk rentetan stimulus yang kemudian diakhiri dengan USD 600 Milyar yang sebulan lalu dikeluarkan Amerika melalui The Fed.
Berapa nilai emas yang ada di muka bumi? Sekitar USD 1.300 Trilyun. Saya tak mention dengan rupiah karena sulit menuliskan satuannya. Terlalu panjang angka nolnya.
Dua angka tersebut membawa kita ke masa 1944 – 1971 dimana Gold Standard diberlakukan dengan payung Bretton Woods Agreement. Kala itu dimana 35 Dollar yang dicetak/dikeluarkan bank sentral Amerika haruslah dengan backup 1 troy ounce emas, uang yang beredar adalah kurang lebih sama dengan nilai emas yang ada di bank sentral di seluruh dunia.
Yang terjadi sekarang adalah jumlah uang kertas telah dicetak 46 kali lebih banyak dari yang seharusnya (USD 61.000 Trilyun dibagi nilai emas USD 1.300 Trilyun). Inilah makna FIAT MONEY itu, uang kertas dicetak sangat banyak, suka-suka, tanpa mencerminkan jumlah kekayaan atau asset riil berupa emas yang dimiliki negara-negara yang disimpan bank sentral masing-masing.
Yang terjadi sekarang adalah jumlah uang kertas telah dicetak 46 kali lebih banyak dari yang seharusnya (USD 61.000 Trilyun dibagi nilai emas USD 1.300 Trilyun). Inilah makna FIAT MONEY itu, uang kertas dicetak sangat banyak, suka-suka, tanpa mencerminkan jumlah kekayaan atau asset riil berupa emas yang dimiliki negara-negara yang disimpan bank sentral masing-masing.
Akibatnya adalah keuntungan dinikmati si pencetak reserved currency (USD). Stagnansi ekonomi yang mereka alami, sebagaimana terjadi sekarang dimana produksi dan konsumsi dalam negerinya mandeg, yang kemudian membuat mereka mencetak uang baru, hanya (mungkin) menguntungkan di sisi mereka. Mungkin, karena belum tentu stimulus ini berhasil mengangkat ekonomi dalam negerinya. Yang justru pasti adalah seluruh negara berlomba menurunkan nilai mata uangnya demi bisa bersaing untuk pasar ekspornya. Yang pasti lagi adalah membuka kemungkinan hyperinlasi terjadi di negara-negara berkembang yang tak tahu menahu, bahkan mungkin tak terlibat awalnya dengan pertarungan ekonomi tingkat tinggi tersebut. Yang jadi korbannya adalah kesejahteraan masyarakat di negara berkembang, karena hyperinlasi berarti menurunnya daya beli uang simpanan mereka sebanyak 2 digit persen.
Selain itu, biaya 4 sen Dollar (atau 0.04 Dollar) untuk mencetak setiap lembar USD itu pun bermakna perampokan. Stempel berapapun bisa dicantumkan di lembaran uang kertas, lalu dibuat untuk membeli lebih banyak asset di negara-negara miskin atau berkembang. Untuk membeli sebuah perusahaan teknologi di Indonesia dengan nilai Rp 5 Trilyun (USD 561 juta), hanya perlu mencetak uang pecahan USD sebanyak 5,61 juta lembar dengan biaya 4 sen x 5,61 juta = USD 22 juta sen, atau sama dengan USD 220.000. Disini praktek SEIGNORAGE bekerja. Untuk membeli perusahaan senilai Rp 5 Trilyun, produsen USD hanya perlu Rp 1,9 Milyar biaya cetak uang.
Data tentang nilai uang riil (yaitu emas) vs nilai uang (kertas) yang ada sekarang itulah yang membuat banyak ekonom meragukan Bretton Woods jilid II yang diwacanakan Robert Zoellick, bos World Bank, mustahil terlaksana. Karena jumlah uang beredar sudah sedemikian besar melebihi yang seharusnya, implementasi Gold Standard Currency seperti pernah dipraktekkan dulu akan membawa kompleksitas sistem global. Simpanan setiap bank sentral juga tak seimbang. Semenjak Perang Dunia I, Amerika lah yang menyimpan emas paling banyak. Dengan situasi ini, harus ada negara yang rela seluruh harga barangnya naik. Di sisi lain, harus ada sebagian negara yang harus bersedia seluruh harganya diturunkan. Reposisi dan keseimbangan baru itu akan berbiaya sosial sangat besar, melibatkan seluruh negara dan masyarakat di dalamnya.
Salah satu sebab lain Bretton Woods sulit dijalankan adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh bank sentral untuk mengumpulkan emas domestik maupun internasional (sebagai backup pencetakan uang dengan standar emas) akan sangat besar. Dengan sistem ini, maka pemilik emas akan menjual emasnya kepada bank sentral, yang jelas memerlukan lebih banyak backup untuk pencetakan uang baru. Biayanya akan sangat besar, dan karena permintaan meningkat drastis, harga emas akan melonjak sangat tinggi. Ujungnya, pemilik emas bisa menilai harga yang ditetapkan tak setinggi yang seharusnya dan mereka memilih menyimpan saja emas-emas yang telah dimiliki. Wajar, karena sejak semula, emas adalah penakar nilai dan alat tukar yang universal, maka penyimpan emas merasa lebih safe dan untung jika menyimpan emas untuk melindungi asetnya juga untuk membeli barang kebutuhan. Pada titik ini terjadi kekacauan dan orang tak memerlukan lagi uang kertas, dan dunia kembali pada masa dimana emaslah yang menjadi alat transaksi. Inilah masa pada periode dengan rentang 1.500 tahun semenjak Dinar dan Dirham ditetapkan khalifah Umar ibn Khattab hingga runtuhnya kedaulatan Islam pada masa Turki Ustmani.
Uraian diatas dituliskan dengan gamblang oleh Martin Wolf, kontributor The Economist, seorang Profesor di University of Nottingham yang juga Chief Economics Commentator di Financial Times – London.
Pada sebuah tulisannya, ia mengutip juga pernyataan Bennett McCallum dari Carnegie Mellon University yang menyatakan bahwa kesadaran kembali ke alat tukar berupa emas (sebagaimana pada tahun-tahun sebelum 1930-an) diawali dengan tingkat pemahaman agama/ religiusitas yang cukup tinggi. Karena hanya ajaran agama saja yang memberikan penjelasan bahwa “nilai emas tidak pernah berubah, ia tetap dan terjaga selamanya’ (the price of gold should not be varied but should maintained, forever).
Dan kita tahu, Islam adalah agama yang melalui firman dalam Al-Quran dan hadits Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam, mengajarkan keyakinan ini kepada kita. Sejatinya, hal-hal seperti ini harus terus kita bangun mulai saat ini.
Bersambung…
(Berikutnya : 90% emas di muka bumi ini ternyata dikuasai swasta, bukan oleh bank sentral. Ini kabar baik, lalu bagaimana sikap kita?)
(Berikutnya : 90% emas di muka bumi ini ternyata dikuasai swasta, bukan oleh bank sentral. Ini kabar baik, lalu bagaimana sikap kita?)
*) Judul tulisan diambil dari buku dengan judul sama : “The Golden Constant: The English and American Experience 1560 – 2007, Roy W Jastram, Edward Elgar Publishing)
(endy J Kurniawan, 23 September 2011)