Dua alasan ketika seseorang diajak berbisnis : tak ada MODAL dan tak punya WAKTU.
Alasan salah jika yang dimaksud MODAL adalah finansial. Sementara banyak modal lain yang lebih diperlukan untuk mengawali bisnis, seperti modal kepercayaan, pertemanan serta mental keberanian. Banyak sekali bisnis, jika melihat contoh praktis yang terjadi, tumbuh dari modal keberanian individu pendirinya, perlahan membangun kepercayaan dan jaringan sebelum besar dan kemudian memerlukan modal finansial.
Selama kurang lebih 10 tahun terlibat di pengembangan SDM termasuk di dalamnya mempersiapkan karyawan memasuki masa pensiun, terlalu banyak contoh kegagalan bertahan hidup layak bagi mereka yang baru mengawali bisnis begitu masuk masa purna bhakti. Di Indonesia, karyawan rata-rata disiapkan mental, spiritual, kesehatan, bisnis dan bekal finansial satu hingga tiga tahun sebelum ia pensiun (Jepang: 10 tahun sebelumnya). Dengan persiapan pendek seperti itu, karyawan ‘full timer’ yang hanya memikirkan karir sepanjang pengabdiannya di perusahaan, tidak punya waktu untuk mempersiapkan perahu penghasilan berikutnya.
Pada usia pensiun, karyawan tak lagi seaktif, sesehat, seproduktif ketika usia kerja optimalnya. Dan memang, jika tak lagi mampu, masa pensiun adalah saat untuk menikmati hasil jerih payah selama periode produktif. Memutuskan berbisnis ketika memasuki masa pensiun, dengan pertimbangan modal uang tersedia (dari pesangon) dan waktu luang (karena tak lagi bekerja) mengandung resiko cukup besar, terutama bagi yang akan menggantungkan biaya hidup bulanan sepenuhnya dari hasil bisnis itu, karena :
- Perlu waktu untuk paling tidak 3 tahun untuk membuat bisnis berdiri mantap dan memberi hasil yang stabil. Jatuh bangun selama periode ini memerlukan ketahanan fisik, akal dan keuangan. Berpindah mentalitas dari karyawan menjadi pelaku usaha akan menghabiskan waktu tersendiri, dan sepanjang yang saya ketahui, banyak calon pensiunan yang gagal melewati jurang ini
- Pesangon yang seharusnya menjadi bekal hidup memasuki masa pensiun, biasanya akan diletakkan seluruhnya untuk membangun bisnis, membuat kelangsungan hidup keluarga terancam jika terjadi kegagalan.
Banyak cara untuk memulai bisnis seawal mungkin saat menjadi karyawan. Sekarang makin jadi trend ‘amphibi’ – julukan untuk karyawan yang juga memiliki bisnis sampingan. Ledakan permintaan domestik, kemudahan berwirausaha yang ditunjang teknologi dan biaya komunikasi yang makin murah serta jejaring bisnis yang bisa dengan mudah dibangun melalui komunitas, adalah penyubur tumbuhnya bisnis bagi siapa saja.
Jika modal non-finansial bisa dibangun dan disiapkan jauh hari sebelum masa pensiun untuk membangun bisnis, bagaimana dengan WAKTU? Sebagai salah satu sumber daya (resource), waktu tergantung pengelolanya, yaitu kita. Ia lentur, melar dan menyempit sesuai kehendak manusia. Banyak karyawan yang sambil bekerja juga menyelesaikan sekolah, bahkan kuliah S-1, master hingga dokotral, pun aktif di organisasi intra dan ekstra kantornya. Terbukti bisa dan lancar-lancar saja. Dengan kesungguhan & pengorbanan, berbisnis sambil bekerja sangat mungkin kita lakukan, tentu dengan tetap profesional dan tak mengganggu performa di kantor.
Membangun bisnis memerlukan stamina prima, terutama pada saat awal pendiriannya. Makin muda mengawalinya makin baik. Bukankah lebih baik membangun bisnis dari awal dan kita tinggal menikmatinya saat masa pensiun daripada memulai berjibaku saat kita tua renta?